Minggu, 09 Januari 2011

Gubernur Yogyakarta Dipilih Atau Ditetapkan?


JAKARTA, PedomanNEWS.com- Wawancara Khusus bersama mantan ketua tim perumus RUU Yogyakarta dari DPD RI, Paulus Johanes Sumino. Wawancara ini berlangsung di Sekretariat Jendral Dewan Perwakilan Daerah, Gedung DPR/MPR RI. Tema yang diperbincangkan yakni "Gubernur Yogyakarta Dipilih atau Ditetapkan?". Wawancara ini menyikapi polemik yang dilontarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang sistem monarki Yogyakarta dengan sistem demokrasi tanah air, pada saat rapat kabinet terbatas yang membahas soal RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat (26/11/2010) lalu. @Red
Sumber: PedomanNEWS.com
Selengkapnya -

Faisal Basri: Penguasa Kampus Kadang Lebih Otoriter Dari Militer

JAKARTA, PedomanNEWS.com - Pengamat Ekonomi Faisal Basri mencoba membagi pandangannya tentang dunia pendidikan. Melalui akun Twitternya dia berargumen bahwa penguasa kampus kadang lebih otoriter dari pada militer.
“Rektor jangan otoriter, jangan sok kuasa. Rektor harus mengusung keterbukaan. Tak boleh ada toleransi untuk praktik-praktik tak terpuji”. Tulisnya Jumat,(  07/01/2010).

Menurutnya yang lebih mengarahkan ke Universitas Indonesia bahwa Universitas Jangan terlalu sibuk membangun monumen-monumen fisik. Bangunlah jiwa mahasiswa dan civitas akademika agar peduli kepada sesama dan nasib bangsa.

“Jangan cuma pidato indah-indah. Tak mungkin UI sehat kalau "anak-anaknya" sendiri dikerdilkan banyak yang aneh-aneh.” Tulisnya.

Faisal  ingin gerakkan hati-hati masyarakat yang lain. Menurutnya harusnya universitas adalah penjaga moral dan nurani bangsa, jadi suri tauladan.

Menurutnya  kehidupan kampus tak bisa jadi penerang, mata akan gelap nasib bangsa ini. Semoga kampus-kampus lain terus bercahaya. “Wahai penguasa UI, jadikanlah universitas sebagai ujung tombak memajukan peradaban, menjadi suri tauladan bagi seluruh anak bangsa.” Tulisnya.

Penulis: Indra Dahfaldi Nasution  | Editor: Nursailan
Selengkapnya -

Kamis, 23 Desember 2010

Guru adalah Agen Perdamaian


shutterstock
JAKARTA, KOMPAS.com - Guru perlu aktif mempromosikan nilai-nilai kewarganegaraan, perdamaian, dan keberagaman. Sebab, guru mengemban misi menyiapkan generasi penerus bangsa yang bertanggung jawab.

Guru juga harus membekali muridnya dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup.

Hal itu merupakan bagian dari seruan bersama para pemimpin lembaga internasional untuk memperingati Hari Guru Internasional yang jatuh pada hari Selasa (5/10/2010).


Seruan bersama di Jakarta itu datang dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa- Bangsa (UNESCO), Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), Program Pembangunan PBB (UNDP), Organisasi Buruh Internasional, dan Education International.

Para guru berperan untuk membangun harapan bangsa yang ingin memiliki generasi cinta damai dan hidup harmonis dalam keragaman. Sebab, banyak anak-anak saat ini mengalami trauma akibat menyaksikan kekerasan yang ekstrem, mengalami kehancuran rumah, dan kehilangan anggota keluarga.

Seruan dunia kepada guru itu, kata Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia Suparman, amat relevan dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini. Guru perlu ikut aktif memulihkan kondisi sosial masyarakat dengan mengampanyekan penghentian segala bentuk kekerasan dan konflik. Di sekolah, guru harus menerapkan sikap antidiskriminasi dan memahami keberagaman.

Pengamat pendidikan HAR Tilaar mengatakan, gesekan-gesekan sosial sering terjadi sebagai konsekuensi masyarakat Indonesia yang semakin tidak mengenal budaya Nusantara.

Pendidikan nasional tidak lagi memperkuat kebudayaan bangsa yang seharusnya diajarkan di sekolah. Ini terjadi karena pemerintah tak lagi menyatukan kedua unsur itu dalam satu departemen: pendidikan dan kebudayaan.

Tilaar menegaskan perlunya memperkuat pendidikan multikulturalisme di sekolah. Upaya itu penting untuk membentuk generasi muda yang mampu menghargai perbedaan budaya, agama, dan suku, serta keragaman lainnya.

”Pendidikan yang didesentralisasikan justru bisa mengancam. Bagaimana mau menyatukan bangsa Indonesia kalau guru terpaku di satu daerah. Ini karena guru sekarang jadi milik bupati atau wali kota,” katanya.

Setelah berbagai konflik melanda Indonesia berlatar belakang perbedaan agama dan suku, guru-guru mulai menyadari pentingnya membekali siswa dengan pendidikan damai.

Pendidikan damai


Seperti di Sulawesi Tengah dan Maluku, guru-guru yang difasilitasi World Vision Indonesia melalui Wahana Visi Indonesia (WVI) mengembangkan pendidikan damai yang dinamakan pendidikan harmoni.

”Pendidikan harmoni merujuk dari pendidikan damai. Kami ingin memastikan nilai-nilai perdamaian, kemanusiaan, hak asasi manusia, multikulturalisme, dan perlindungan anak terintegrasi dalam kurikulum SD,” kata Frida Siregar, staf WVI untuk Pendidikan Damai Wilayah Sulawesi dan Maluku.

Pendidikan harmoni lahir dari semangat penyatuan dalam keberagaman. Kompetensi nilai harmoni yang dikembangkan adalah harmoni diri (tanggung jawab, keyakinan pada ajaran agama, kepercayaan); harmoni sesama (penghargaan, kejujuran, kepedulian); serta harmoni alam (ramah lingkungan, melindungi, kewarganegaraan).

Menurut Frida, dari hasil penelitian awal WVI di Palu dan Poso tahun 2009 ditemukan bahwa pemahaman akan perbedaan suku dan agama yang ada di masyarakat masih lemah. Masih ditemukan anak dengan agresivitas tinggi, rasa dendam, dan enggan berinteraksi dengan teman yang berbeda agama.

Di Palu, 35 persen anak menyatakan tidak mau berteman dengan mereka yang berbeda agama dan 14,2 persen tidak tahu. Di Poso, 10,8 persen anak tidak mau berteman dan 15 persen tidak tahu. (ELN)

Sumber: Kompas Cetak 
Kompas.com 

Selengkapnya -

Rabu, 22 Desember 2010

Sejarah Stadion Gelora Bung Karno

Muncul gosip ketika itu PM Uni Soviet kecewa.  
Maryadie
Stadion Utama Gelora Bung Karno (VIVAnews/Tri Saputro
VIVAnews - Bola dan orang Indonesia. Keduanya begitu dekat belakangan ini. Semenjak sejumlah anak muda seperti Irfan Bachdim, Okto Maniani, Christian Gonzales, Arif Suyono dan kawan-kawan, menyedot rasa nasionalisme seantero negeri, lalu menyeretnya ke lapangan bola.

Begitu banyak tokoh politik, bisnis, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengakui  bahwa bola sudah mempersatukan bangsa. Bahkan jauh lebih ampuh dari kata-kata politisi di atas panggung. Sepanjang Piala AFF ini, sejumlah sengketa politik memang tenggelam, paling tidak dari permukaan.
Mungkin karena rasa nasionalisme itu, dunia bola kita belakangan ini jadi ramah.  Hampir tak ada lagi suporter beringas, yang berarak keliling kota dan bikin kita meriang. Bahkan, meletupkan mercon di lapangan, kini sudah merasa bersalah, sebab itu akan membuat malu kesebelasan, juga bangsa. 
Bola yang ramah itu mengundang berpuluh ribu orang ke Senayan. Menjejali Gelora Bung Karno. Memberi semangat kepada mereka yang berlaga. Pada semifinal Indonesia versus Filipina, sekitar 80 ribu orang meriuh di sana.
Seiring dengan itu, Stadion Utama Gelora Bung Karno kemudian kian terkenal. Stadion itu berada di kawasan Senayan, yang terletak di pusat kota Jakarta. Bagaimana riwayat stadion dan kawasan itu, belum banyak diketahui publik.
Dari sejumlah literatur dan peta yang diterbitkan oleh Topographisch Bureau Batavia pada tahun 1902, kawasan Senayan  itu semula bernama Wangsanajan, atau Wangsanayan menurut Ejaan Yang diperbaharui.

Konon Wangsanayan adalah pemilik tanah yang kini menjadi salah satu tempat elit di Jakarta itu. Mungkin penyebutannya agak sulit, lambat laun nama kawasan itu berubah jadi Senayan.

Informasi lainnya adalah bahwa kata Senayan dalam bahasa Betawi berarti Senenan atau jenis permainan berkuda. Nama itu diperkirakan muncul sejak masa penjajahan. Thomas Raffles (1808-1811). Saat itu, kawasan Senayan,  dijadikan sebagai tempat warga Inggris bermain Polo.

Kawasan Senayan mulai banyak dikenal sejak didirikan gelanggang olahraga bertaraf internasional  di lokasi ini. Pembangunan gelanggang olahraga ini dimulai  awal 1958 atas bantuan Uni Soviet pada masa Perdana Menteri Nikita Kruschev. Biayanya ketika itu sebesar US$ 12,5 juta atau Rp 117,6 miliar. 

Namun peletakan tiang pancang pertama dilakukan oleh Soekarno pada 8 Februari 1960 dan disaksikan langsung Wakil PM Uni Sovyet Anastas Mikoyan.

Gelanggang olah raga ini dibangun karena Indonesia tengah mengadakan gawai olahraga sekelas Olimpiade yang dikenal dengan nama Ganefo.

Ganefo adalah sebuah proyek mercusuar Bung Karno yang melombakan berbagai olah raga yang pesertanya berasal dari gerakan Negara Non Blok. Seiring dengan itu, nama stadion di kawasan Senayan dikenal sebagai Stadion Ganefo. Di situlah Soekarno beberapa kali berpidato membangkitkan nasionalisme rakyat.

Muncul gosip ketika itu PM Uni Soviet kecewa karena tidak ada tanda-tanda prasasti yang menyebutkan Uni Soviet-lah yang membangunnya.

Stadion yang awalnya mampu menampung 100.000 penonton ini kini susut menjadi 88.000 penonton pasca renovasi tahun 2007.

Belakangan nama Stadion Ganefo berubah penyebutan menjadi Stadion Gelora Senayan, seiring jatuhnya masa kepemimpinan Soekarno. Namun pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, nama Stadion Senayan diubah menjadi Stadion Gelora Bung Karno.
(Sumber: VIVAnews)


Selengkapnya -

Tiga Partai Koalisi SBY Merapat ke PDIP

Sekjen PDIP: "Kalau untuk membahas strategi 2014 dalam rangka pemilu, lepas baju koalisi."

Megawati Soekarnoputri, Tjahjo Kumolo (kanan), danPramono Anung (Antara/ Widodo S Jusuf)
VIVAnews - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo mengakui ada tiga partai koalisi pemerintah yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) berinisiatif untuk bertemu dengan pimpinan teras PDIP.

"Ada tiga partai yang mengajak kami komunikasi," kata Tjahjo di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu, 22 Desember 2010. Namun, dia menolak untuk mengungkapkan nama ketiga partai itu.
Selengkapnya -

RUU Intelijen Berpotensi Langgar HAM

Direktur Hubungan Eksternal Imparsial, Poengky Indarti (Antara/ Ismar Patrizki)
VIVAnews - Imparsial meminta agar draf RUU Intelijen yang sedang dibahas di DPR jangan terburu-buru disahkan. Karena draf RUU tersebut dinilai belum sepenuhnya mengakomodasi prinsip supremasi sipil, akuntabilitas, transparansi, rule of law, serta pengakuan terhadap HAM sebagai prinsip-prinsip negara yang demokratis.
Selengkapnya -

Awas, Harimau Malaya Manaruh Dendam

Mohd Safee Sali (© AFP 2010)
Liputan6.com, Kuala Lumpur: Penyerang Timnas Malaysia Mohammad Safee Sali menganggap barisan pertahanan Timnas Indonesia begitu rapuh. Safee yakin Harimau Malaya mampu membalas sakit hatinya terhadap Indonesia pada leg pertama final Piala AFF 2010 di Stadion Nasional, Bukit Jalil, Malaysia, Ahad (26/12), dan menggondol trofi tersebut untuk kali pertama.
Safee mengatakan, seperti diwartakan Malaysia Utusan Online, Selasa (21/12),
Selengkapnya -